Batu susun Dinamuden Tumaluntung, simpan rahasia purba peradaban Malesung

Miliki Kekuatan Supranatural, Diduga Tempat Upacara Adat 

PENEMUAN lokasi batu susun di sebutan Dinamuden, wanua Tumaluntung kecamatan Kauditan kabupaten Minahasa Utara Sulut, memunculkan dugaan kuat bahwa pusat peradaban bangsa Malesung Tua sebagai cikal bakal bangsa Minahasa atau orang Minahasa, diduga berada di tanah Tonsea Minahasa Utara dan sekitarnya. Dinamuden dalam Bahasa Tonsea artinya dirempahi atau diberikan rempah-rempah.

Batu susun yang diperkirakan ribuan tahun umurnya, yang secara kasat mata merupakan batu yang telah melewati proses pengkatingan ini, memiliki berbagai ukuran yang memanjang, dengan bentuk segi empat dan enam dengan masing-masing memiliki beberapa lobang yang diduga sebagai pengait antar batu yang tersusun. Proses pengkatingan batu tua yang terbilang sangat rapi sebab sisi-sisi batu dibuat licin dan rapi. Bahkan ada batu yang berbebtuk cekung dengan lobang disalah satu sisinya.

Joppie Worek menyebutkan, bahwa setelah diamati sekitar ratusan batu yang ada ini telah berbentuk dengan berbagai ukuran. “Saya menduga batu di lokasi ini jumlahnya ribuan, dan sudah dibentuk dengan ukuran-ukuran yang berbeda serta memiliki fungsi masing-masing. Dan menariknya disemua batu berbagai ukuran itu, terdapat lobang juga dengan berbagai ukuran dan ini kemungkinan sebagai lubang (mungkin) pengait antar batu. Dan ini sebagai tempat beribadah,” kata Worek.

Selanjutnya Worek menyebutkan batu yang ada ini mengandung unsur logam sebab lengket dengan magnet. “Dicoba menggunakan magnet, batu ini lengket dan ketika dites dengan aplikasi pengukur medan magnet walaupun bukan acuan, pengukur bergerak antar 43 – 51 U tesla,” jelas wartawan senior Sulut ini.

Lain halnya yang diungkapkan Piet Luntungan salah satu penemu lokasi batu susun ini, lokasi batu tidak pernah diceritakan baik orang tuanya maupun warga yang ada dan lokasi baru diketahui setelah ada perintisan jalan perkebunan. Dan enteh apa yang menjadi penyebab, menurut Om Piet sapaan akrab salah satu sesepuh Minut ini, warga yang berburu hewan liar, tidak pernah berhasil mendapatkan buruannya, ketika hewan tersebut lari memasuki kawasan batu susun.

“Dari orang tua tidak pernah menceritakan bahwa disini ada lokasi peninggalan leluhur. Dan hanya orang yang tidak tahu saja saat ini, yang dating dan beraktivitas di daerah ini,” kata Piet.

Hampir semua rombongan yang berkunjung ke batu susun Tumaluntung ini, merasakan rasa lelah diluar kebiasaan, padahal medan yang ditempuh sangat mudah dan tidak memerlukan tenaga ekstra.

“Saya sempat merasakan berat ketika menenteng tas, padahal isinya hanya kamera dan jacket,” ungkap wartawati TVRI biro Minut Ireine Buyung.

Hal yang sama juga dirasa Rubby Worek jurnalis Koran Aspirasi Rakyat, dirinya merasakan badannya sangat letih, seolah-olah melakukan perjalanan yang sangat jauh. “Badan ini terasa letih seolah-olah bekerja berat, padahal untuk ke lokasi menggunakan sepeda motor,” kata Rubby.

Alvein Gilingan juga mengungkapkan hal mistis yang dialaminya, dengan menyebutkan perasaan yang tidak seperti biasanya. “Pokoknya ada hal lain yang besar dengan lokasi batu susun ini,” ujar Ein sapaan akrabnya.

Untuk ke lokasi batu susun di Wanua Tumatuntung, dapat ditempuh perjalanan dengan mobil atau sepeda motor sekira 20 menit lamanya dari jalan utama Minawerot ruas Airmadidi-Kauditan. (meiyer)