Situs Budaya Walian Pingkan Dirusak, Waspadai Upaya Melenyapkan Identitas ke-Minaesaan

KEMA, beritanusantara.co.id – Kisah miris kembali melanda kebudayaan Minahasa. Lagi-lagi upaya menghapus identitas ke-Minaesaan seakan tak henti dilakukan oknum tak bertanggung jawab. Satu diantaranya dibuktikan lewat aksi perusakan dan pembongkaran aset sejarah budaya Minahasa, yakni situs Walian Pingkan dibongkar.

Perusakan situs budaya Walian Pingkan yang berada di Desa Kema 3, Kabupaten Minahasa Utara (Minut) itu, mendapat sorotan Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) wilayah Sulawesi Utara (Sulut), Lefrando Gosal. Ia mengatakan, situs budaya adalah penanda ingatan dan identitas. Ketika pergi ke situs budaya maka seseorang akan seperti menapaki ingatan yang ditinggalkan leluluhur.

“Dengan begitu kita bisa tahu pengetahuan dan kebijaksanaan yang ditinggalkan leluhur lewat situs tersebut. Maka dengan menjaga situs budaya, berarti kita menjaga ingatan dan ikatan dengan leluhur dan pengetahuan yang ditinggalkan. Itulah mengapa situs itu penting,” ungkapnya.

Ia menjelaskan,  jerat bagi perusak situs budaya diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Khususnya terkandung dalam pasal 26, terkait ketentuan pidana. “Di situ dikatakan, barangsiapa dengan sengaja merusak benda cagar budaya dan situs serta lingkungannya atau membawa, memindahkan, mengambil, mengubah bentuk dan/atau warna, memugar, atau memisahkan benda cagar budaya tanpa izin dari Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya seratus juta rupiah (Rp100.000.000),” terangnya.

Pegiat Kebudayaan Minahasa, Rinto Taroreh menjelaskan, ia tidak akan mengecam tindakan tersebut, hanya saja semuanya harus kembali ke tindakan hukum. “Apa yang dorang perbuat tentu ada hukuman, ini tinggal dari kepolisian,” ucapnya.

Meski begitu ia menyampaikan, fenomena perusakan ini harus kembali menyadarkan orang Minahasa. Selama ini banyak yang berdiam atas aksi-aksi perusakan situs budaya.  “Atau banyak yang ada di gerakan budaya tetapi tidak tepat sasaran. Padahal justru masalah ini yang paling penting karena situs-situs budaya adalah penanda peradaban di masa lampau,” ujar penggerak kelompok penari Kawasaran Waraney Wuaya itu.

Percuma baginya, ketika banyak orang yang bicara tentang tradisi Minahasa sementara di waktu bersamaan penanda budaya ini terus dirusak. “Ini yang masih dapa lia tare so tabiar kong orang cuma main kase rusak bagini,” ujarnya.

Ia berharap, mulai sekarang orang Minahasa harus lebih peduli terhadap situs budayanya.  Hal itu karena di situs-situs budaya terdapat peninggalan orang tua dahulu. Kearifan leluhur terukir di situ.

“Sudah saatnya orang Minahasa  menjaga situ budaya. Atau  juga bukan orang Minahasa tapi tinggal di tanah ini. Ada banyak makna di dalam situ dan ada banyak cerita di dalam situ. Tapi yang paling pokok, bukan soal waruga dari Pingkan yang mereka rusak. Ini persoalan perusakan situs budaya di semua tempat,” terang Rinto.

“Ini jadi pengingat dan penanda, semoga ke depan torang orang budaya lebih kritis. Lebih mengingat tempat-tempat penanda budaya seperti ini. Hal itu karena sejauh mana kita melangkah tergantung dimana kita berpijak,” tutupnya.

Sementara, Ketua Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Wilayah Sulut, Allan Sumeleh mengungkapkan, masih banyak yang menganggap berurusan dengan budaya adalah hal-hal kuno yang tak perlu dianggap. Baginya,  perusakan seperti ini pula karena ketidaktahuan mereka tentang warisan leluhur itu sendiri.

“Pengetahuan tentang kebudayaan sudah semakin sedikit diajarkan di ruang-ruang belajar yang seharusnya menyajikan hal itu. Terutama di keluarga dan di sekolah-sekolah. Ketidakpahaman ini karena tidak lagi diajar-ajarkan tentang bagaimana mencintai budaya warisan budaya leluhur kita,” jelasnya.

Diketahui, di tempat yang dirusak itu terdapat Waruga Walian Pingkan. Di masa lampau Walian Pingkan adalah salah satu pemimpin spiritual masyarakat adat minahasa. ingkan dan Matindas adalah cerita yang cukup dikenal di kalangan masyarakat minahasa. Pingkan dan Matindas adalah cerita minahasa tentang keluarga yang harmonis dan perlambang kesetiaan. (*)

Penulis : Jeffrie R. Montolalu